BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Antraks adalah penyakit yang disebabkan
Bacillus anthracis. Penyakit ini dapat menyerang hewan domestik maupun liar,
terutama hewan herbivora, seperti sapi, domba, kambing, beberapa spesies unggas
dan dapat menyerang manusia (zoonosis) (OIE, 2000 ; ToDAR, 2002). Antraks
merupakan penyakit zoonosis penting dan strategis sehingga perlu ditangani
dengan baik. Tingkat kematian karena antraks sangat tinggi terutama pada hewan
herbivora, mengakibatkan kerugian ekonomi dan mengancam keselamatan manusia
(WHO, 1998.
Untuk mewaspadai penyakit antraks di
Indonesia, perlu dikembangkan cara pengendalian penyakit yang efektif yang
perlu didukung dengan metode diagnosis cepat dan akurat sehingga penanganan
kasus penyakit dapat dilaksanakan dengan segera. Metode diagnosis yang
digunakan di BBalitvet adalah identifikasi agen, uji serologi dan Ascoli,
sedangkan teknik lain yang lebih cepat dan akurat dan direkomendasikan oleh
OIE/WHO (1998; 2000) antara lain : lysis gamma phage, immunochromatographic
assay, Direct Flourescence Assay (DFA) dan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Penyempurnaan metode diagnosis dirasakan sangat mendesak karena sampai saat ini
cara diagnosis yang digunakan di Indonesia pada umumnya masih konvensional.
Pencegahan penyakit sangat penting dilakukan di daerah endemik penyakit antraks, seperti Jawa Barat dan D.I.
Yogyakarta . Program vaksinasi masih sering mengalami hambatan karena
adanya efek samping dari vaksin spora hidup yang saat ini digunakan di
Indonesia (HARDJOUTOMO et al., 1993). Pengembangan atau perbaikan dalam
pembuatan vaksin antraks perlu dilakukan sehingga dapat diperoleh vaksin yang
efektif tetapi aman digunakan dan tidak mempunyai efek samping yang sering
dikeluhkan petemak di Indonesia. Investigasi merupakan salah satu langkah dalam
cara pengendalian penyakit antraks, khususnya di daerah endemik untuk menekan
kejadian penyakit itu berulang kembali. Untuk memprediksi kejadian penyakit,
kita harus mengetahui sejarah dan daerahdaerah endemik antraks serta mengetahui
kapan saja kasus antraks muncul. Tindakan yang perlu dilakukan adalah dengan
cara memonitoring tingkat kejadian dan tingkat cemaran spora di daerah tersebut
(WHO et al.,1998).
B.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui gambaran Epidemiologi Deskriptif penyakit Antraks
2.
Untuk mengetahui skema penularan penyakit Antraks
3.
Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit Antraks
4.
Untuk mengetahui strategi pengendalian penyakit Antraks
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan Umum Antraks
Antraks adalah penyakit bakterial yang
disebabkan oleh Bacillus anthracis yang menyerang hewan dan manusia (zoonosis).
Penyakit ini umumnya menyerang hewan domestik, seperti domba, kambing dan sapi,
tetapi manusia juga dapat terinfeksi karena terpapar atau mengkonsumsi hewan
yang terinfeksi . Program pengendalian antraks pada hewan dan manusia
meliputi pengembangan metode diagnostik untuk
deteksi B. anthracis dan uji konfirmasi penyakit antraks, pencegahan penyakit
dengan vaksinasi dan investigasi penyakit . Teknologi diagnosis antraks yang
cepat dan lebih akurat harus dikembangkan untuk menggantikan metode
konvensional yang sekarang masih digunakan di Indonesia. Penggunaan vaksin
cukup efektif untuk pencegahan penyakit antraks . Vaksin antraks yang masih
digunakan di Indonesia adalah suspensi spora B. anthracis galur Sterne 34F2,
tidak berkapsul dan toksigenik. Penggunaan vaksin ini terkadang menimbulkan
rasa sakit dan nekrosis di tempat suntikan, oedema subkutan dan kematian hewan
pascavaksinasi . Beberapa vaksin telah dikembangkan, antara lain vaksin
subunit, anthrax vaccine absorbed (AVA), yang mengandung komponen antigen
protektif (PA) yang merupakan komponen utama toksin antraks yang bersifat
imunogenik dan sering digunakan sebagai vaksin pada manusia . Di daerah endemik
antraks, hampir setiap tahun masih terjadi letupan wabah penyakit ini.
Ø Distribusi
penyakit Antraks
Sumber infeksi yang
utama adalah setiap bahan yang berasal dari hewan yang mati karena antraks.
Penyebaran spora antraks dapat melalui berbagai macam cara baik secara biologic
maupun mechanic, antara lain melalui hewan pemakan bangkai tercemar dan air
mengalir yang tercemar. Antraks bisa ditularkan kepada manusia diakibatkan
pengeksposan kepada hewan yang sakit atau hasil ternakan seperti kulit dan
daging, atau memakan daging hewan yang tertular antraks. Selain itu, penularan
juga dapat terjadi bilaseseorang menghirup spora dari produk hewan yang sakit
misalnya kulit atau bulu yang dikeringkan.
Antraks dapat masuk ke
dalam tubuh manusia melalui usus, paru-paru (dihirup), atau kulit (melalui
luka). Bakteri B.Anthracis termasuk
bakteri gram positif berbentuk basil, dan dapat membentuk spora. Proses
masuknya spora antraks dapat dengan tiga cara, yaitu:
1. Inhaled
antraks, dimana spora antraks terhirup dan masuk ke dalam saluran pernapasan.
Tipe pernapasan adalah yang paling berbahaya karena CFRnya mencapai 100%. Masa
inkubasinya 1 – 5 hari.
2. Cutaneous
antraks, dimana spora antraks masuk melalui kulit yang terluka. Proses masuknya
spora ke dalam manusia sebagian besar merupakan cutaneous antraks (95% kasus).
Bisa terjadi jika bakteri atau spora masuk ke dalam jaringan kulit yang luka,
dan menyebabkan lepuh kemudian berubah menjadi bisul bernanah dan akhirnya menjadikoreng
berwarna hitam. Antraks jenis ini biasanya terjadi pada tempat penjagalan
hewan. Masa inkubasi 1 – 5 hari.
3. Gastrointestinal antraks, dimana daging hewan yang dikonsumsi tidak
dimasak dengan baik, sehingga masih mengandung bakteri atau spora trtelan lewat mulut, biasanya terjadi
karena makan daging terinfeksi yang tidak dimasak sampai matang sempurna. Masa
inkubasi 2 – 5 hari.
B.
Tinjauan Umum Faktor Risiko Antraks
1.Kontak dengan hewan yang mati karena antraks.
2.Mencuci atau mandi disungai atau danau yang terkontaminasi bakteri Bacillus Anthracis.
3.Tukang jagal.
4.Pekerja potong hewan, tukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
5.Peternak,
pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani ternak atau
hewan, menyentuh hewan mati karena antraks.
6.Pekerja
pabrik yang menangani produk-produk hewan yang terkontaminasi oleh spora
antraks, misalnya pupuk.
7. Orang yang bekerja di laboratorium.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Gambaran
Epidemiologi Deskriptif Antraks
1. Berdasarkan Orang
a. Personal Hygiene
Widoyono (2008)
menyebutkan bahwa bagian penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
penyakit menular adalah memutuskan mata rantai penularan. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara menghentikan kontak dengan agent penyakit dengan penjamu.
Faktor pencegahan penularan menitikberatkan pada penanggulangan risiko penyakit
seperti lingkungan dan perilaku.
b. Usia
Antraks diketahui dapat
mejangkiti hampir segala umur karena kebiasaan masyarakat yang mengkonsumsi
daging sebagai kebutuhan pangan mereka. Selain itu juga dimana usia pekerja
yang bekerja sebagai penjagal daging atau sebagai peternak hewan tersebut.
c. Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan
memiliki risiko yang sama mengalami antraks, akan tetapi laki-laki yang
memiliki risiko lebih besar karena laki-laki memiliki daerah kerja yang lebih
besar terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi.
2. Berdasarkan Waktu
-Musim kemarau, karena
ternak harus mencari makanannya sendiri walaupun telah tercemar.
-Curah hujan yang tinggi di mana rumput sedang
tumbuh.
3.
Berdasarkan Tempat
a.
Lingkungan fisik seperti keberadaan peternakan yang ada di lingkungan sekitar
rumah, keberadaan parit atau sungai yang berdekatan dengan peternakan
kemungkinan besar dapat terkontaminasi.
b.
Lingkungan biologic, sebagai hospes perantara (lalat).
c. Lingkungan sosial
- Lama pendidikan
Pendidikan merupakan
salah satu faktor yang cukup penting dalam penularan penyakit khususnya antraks
. Pendidikan masyarakat yang rendah akan membawa ketidaksadaran terhadap
berbagai risiko paparan penyakit yang ada di sekitarnya. Semakin tinggi
pendidikan masyarakat, akan membawa dampak yang cukup signifikan dalam proses
pemotongan jalur transmisi penyakit antraks.
B.
Skema Penularan Antraks
![http://ilmuveteriner.com/wp-content/uploads/2015/04/Penularan-anthrax.png](file:///C:\Users\ACER~1.ACE\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg)
Anthrax
tidak menyebar langsung dari salah satu hewan terinfeksi ke hewan lain tetapi
dapat masuk ke dalam tubuh karena spora anthrax tertelan pada saat digembalakan
atau merumput serta dapat juga melalui air ataupun alat-alat kandang yang
mengandung spora anthrax. Selain itu, hewan juga dapat terinfeksi anthrax
melalui pernafasan dengan menghirup spora anthrax saat merumput. Spora akan
mengalami germinasi dan menghasilkan bentuk vegetatif di dalam tubuh hewan yang
terinfeksi, kemudian memperbanyak diri serta dapat mengakibatkan kematian.
Bentuk vegetatif dalam proporsi tertentu dikeluarkan pada saat hewan menjelang
kematian atau hewan yang sudah mati (bangkai) dan menyebar ke lingkungan
sekitarnya. Spora kemudian menunggu untuk ditelan oleh hewan lainnya dan hal
ini bisa berlangsung kapan saja, mulai dari waktu kurang satu jam sampai
beberapa dekade kemudian. Spora yang ada di dalam tanah dapat naik ke permukaan
karena pengolahan tanah dan selanjutnya spora tersebut berada di rumput yang
kemudian termakan oleh hewan (ternak)
Menurut
daerah penularannya, anthrax dibagi dalam dua bentuk diantaranya :
1.
Anthrax daerah pertanian (agriculture anthrax)
yaitu anthrax yang penularan dan kejadiannya berkisar di daerah-daerah
pertanian saja. Anthrax di Indonesia pada umumnya termasuk anthrax daerah
pertanian.
2.
Anthrax daerah perindustrian (industrial anthrax)
yaitu anthrax yang terjadi di daerah atau kawasan industri yang menggunakan
bahan baku berasal dari hewan atau hasil hewan seperti bahan-bahan yang terbuat
dari kulit (tas, ikat pinggang, topi, alat musik), tulang (perhiasan, industri
makanan ternak), daging (dendeng, abon), darah (campuran makanan ternak),
tanduk (perhiasan, kerajinan) dan lain-lain.
C. Gejala Antraks
Gejala Penyakit Anthrax Pada Manusia :
Gejala yang terjadi saat menderita penyakit anthrax tergantung kepada jenis penyakit anthrax yang dideritanya.
1.Cutaneous anthrax. Gejalanya berupa benjolan yang awalnya kecil dan kemudian membesar. Benjolan ini bisa sangat gatal. Masa inkubasinya (masa yang dibutuhkan dari sejak masuk hingga menjadi penyakit) adalah sekitar 5 -7 hari. Lalu, benjolan menjadi terisi cairan dengan diameter 1-3 cm. Lama-kelamaan, benjolan berair ini akan membentuk luka seperti lecet dengan bagian pinggiran yang kemerah-merahan. Di hari ke-7 hingga ke-10 terjadi pembengkakan kelenjar getah bening; sakit kepala; dan demam.
2. Inhalational anthrax. Gejalanya pertama muncul di hri ke-1 sampai hari ke-7. Akan tetapi menghilang setelah 60 hari. Gejala yang terjadi pada inhalational anthrax biasa adalah berupa flu, sakit tenggorokan, demam, dan sakit otot. Adapun untuk inhalational anthrax yang tidak biasa (membahayakan), gejala bisa ditambah dengan sesak napas dan demam tinggi. Kematian bisa terjadi dalam 24-36 jam setelah gejala berkembang.
3. Gastrointestinal anthrax. Gejala terjadi di hari ke-1 sampai ke-6 yang berupa kerusakan/borok lambung; borok lidah dan tonsil; sakit tenggorokan; hilang selera makan; muntah-muntah; dan demam. Gejala ini bisa ditambah dengan sakit bagian perut; muntah darah; dan berak darah. Dalam 2 hingga 4 hari; cairan akan mengisi rongga perut. Kematian akan terjadi di hari ke-2 sampai hari ke-5.
4. Oropharyngeal anthrax. Gejala yang terjadi berupa demam; pembengkakan kelenjar getah bening di leher; sakit tenggorokan yang berat; susah menelan; serta sakit lambung dan lidah
Gejala Penyakit Anthrax Pada Manusia :
Gejala yang terjadi saat menderita penyakit anthrax tergantung kepada jenis penyakit anthrax yang dideritanya.
1.Cutaneous anthrax. Gejalanya berupa benjolan yang awalnya kecil dan kemudian membesar. Benjolan ini bisa sangat gatal. Masa inkubasinya (masa yang dibutuhkan dari sejak masuk hingga menjadi penyakit) adalah sekitar 5 -7 hari. Lalu, benjolan menjadi terisi cairan dengan diameter 1-3 cm. Lama-kelamaan, benjolan berair ini akan membentuk luka seperti lecet dengan bagian pinggiran yang kemerah-merahan. Di hari ke-7 hingga ke-10 terjadi pembengkakan kelenjar getah bening; sakit kepala; dan demam.
2. Inhalational anthrax. Gejalanya pertama muncul di hri ke-1 sampai hari ke-7. Akan tetapi menghilang setelah 60 hari. Gejala yang terjadi pada inhalational anthrax biasa adalah berupa flu, sakit tenggorokan, demam, dan sakit otot. Adapun untuk inhalational anthrax yang tidak biasa (membahayakan), gejala bisa ditambah dengan sesak napas dan demam tinggi. Kematian bisa terjadi dalam 24-36 jam setelah gejala berkembang.
3. Gastrointestinal anthrax. Gejala terjadi di hari ke-1 sampai ke-6 yang berupa kerusakan/borok lambung; borok lidah dan tonsil; sakit tenggorokan; hilang selera makan; muntah-muntah; dan demam. Gejala ini bisa ditambah dengan sakit bagian perut; muntah darah; dan berak darah. Dalam 2 hingga 4 hari; cairan akan mengisi rongga perut. Kematian akan terjadi di hari ke-2 sampai hari ke-5.
4. Oropharyngeal anthrax. Gejala yang terjadi berupa demam; pembengkakan kelenjar getah bening di leher; sakit tenggorokan yang berat; susah menelan; serta sakit lambung dan lidah
Gejala Penyakit Anthrak Pada Hewan :
1. Perakut (sangat cepat) terjadi sangat mendadak dan segera mengikuti kematian, sesak napas, gemetar, kemudian hewan rebah kadang terdapat gejala kejang. Pada sapi kambing dan domba mungkin terjadi kematian yang mendadak tanpa menimbulkan gejala penyakit terlebih dahulu.
2. Bersifat akut (cepat) pada sapi, kambing, domba dan kuda : demam (suhu tubuh mencapai 41,50C), gelisa, sesak napas, kejang, dan diikuti kematian, kadang sesaat sebelum kematian kelaur darah kehitaman yang tidak membeku dari lubang kumlo (lubang hidung, mulut, telinga, anus dan alat kelamin). Pada kuda dapat terjadi nyeri perut (kolik) diare berdarah, bengkak daerah leher dada, perut bagian bawah dan alat kelamin bagian luar.
D.
Pencegahan Antraks
1.
VAKSINASI
Pencegahan dan pengendalian antraks di daerahendemik
dilakukan dengan cara vaksinasi. Vaksin antraks yang digunakan di Indonesia sampai
saat ini adalah vaksin aktif. Daya proteksi vaksin antraks pada ternak
ditentukan oleh respon imun terhadap protective antigen (PA), sedangkan 2
komponen toksin lainnya yaitu LF dan EF hanya berperan kecil dalam memberikan
proteksi. Antigen lainnya (kapsul dan dinding sel) belum diidentifikasi
berperan dalam proteksi (WHO, 1998). Vaksin antraks masa mendatang harus dapat
menstimulasi imun respon seluler dan imun respon humoral (WHO, 1998). Vaksinasi
pada ternak di Indonesia pada umumnya masih menggunakan vaksin spora hidup atau
live spora vaccine, yang mengandung B. anthracis galur 34F2, bersifat toksigenik,
dan tidak berkapsul. Vaksin ini mengandung kira-kira 10 juta spora per mili liter
yang disuspensikan dalam larutan 50% gliserin- NaCI fisiologis mengandung 0,5%
saponin .
2.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan atau pengujian spesimen di laboratorium
adalah untuk meneguhkan diagnosa yang dibuat berdasarkan gejala klinis.
Pengujian yang dilakukan pada dasarnya merupakan deteksi agen penyakit dan
deteksi antibodi.Pengiriman spesimen dari suatu tempat ke laboratorium
pemeriksaan juga perlu diperhatikan karena dapat mempunyai resiko penyebaran
agen penyakit.
E.
Strategi Pengendalian Antraks
INVESTIGASI
Investigasi
merupakan salah satu langkah dalam cara pengendalian antraks, khususnya di
daerah
endemik
untuk menekan kejadian penyakit itu berulang kembali. Untuk memprediksi
kejadian penyakit, harus diketahui sejarah dan daerah-daerah endemik antraks serta
diketahui kapan saja kasus antraks pernah muncul. Tindakan yang perlu dilakukan
dalam investigasi adalah melakukan monitoring tingkat kekebalan ternak hasil vaksinasi,
tingkat kejadian dan tingkat cemaran spora pada tanah dan pakan di daerah tersebut
(OIE, 2000) . Kejadian antraks seringkali dipengaruhi musim, iklim, suhu dan
curah hujan yang tinggi (WHO, 1998). Kasus antraks seringkali muncul pada awal
musim hujan di mana rumput sedang tumbuh, hal ini yang menyebabkan terjadinya
kontak dengan spora yang ada di tanah . Belum pernah ada laporan bahwa antraks dapat
menular dari hewan ke hewan atau dari manusia ke manusia (WHO, 1998). Spora
akan terbentuk jika terekspos oksigen (02), spora ini relatif tahan terhadap panas,
dingin, pH. Penyakit ini tetap enzootic di hampir semua negara Afrika dan Asia,
beberapa negara di Eropa (Inggris, Jerman dan Italia), beberapa negara bagian Amerika
Serikat (South Dakota, Nebraska, Louisiana, Arkansas, Texas, Misissipi dan
California) dan beberapa daerah di Australia (Victoria dan New South Wales)
(WHO, 1998 ; TODAR, 2002). Sampai saat ini, masih banyak daerah endemik antraks
di Indonesia seperti di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa
Tengah, D .I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
NTT, NTB dan Papua. Di Jawa Barat (Kabupaten Bogor), Nusa Tenggara Barat (Bima
dan Sumbawa Besar) dan Nusa Tenggara Timur hampir setiap tahun dilaporkan
adanya
kejadian
antraks (SIREGAR, 2002; DEPARTEMEN KESEHATAN, 2003) . Pada akhir tahun 2004
antraks kembali menyerang kambing di daerah Citaringgul Babakan Madang Kabupaten
Bogor dan menyebabkan 6 orang meninggal dunia (laporan kasus) .
F. Cara Pengobatan Antraks
Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada
kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik
topikal tidak dianjurkan pada antraks kulit. Antraks kulit dengan gejala
sistemik, edema luas, atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotic
intravena. Walaupun sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis antraks
inhalasi, gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. B. anthracis alami
resisten terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis
seperti sefalosporin dengan spektrum yang diperluas tetapi hampir sebagian
besar kuman sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin,
kloramfenikol, vankomisin, sefazolin, klindamisin, rifampisin, imipenem,
aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin, linezolid, dan makrolid. Bagi penderita
yang alergi terhadap penisilin maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasikilin,
atau siprofloksasin dapat diberikan. Pada antraks kulit dan intestinal yang
bukan karena bioterorisme, maka pemberian antibiotik harus tetap dilanjutkan
hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda.
Oleh karena antraks inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi terkena antraks harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi. Untuk kasus antraks inhalasi Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik pilihan. Untuk hewan tersangka sakit dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut :
1. Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan (hewan besar 20-30 ml, hewan kecil 10-1ml)
2. Penyuntikan antibiotika.
3. Penyuntikan kemoterapetika.
4. Penyuntikan antiserum dan antibiotika atau antiserum dan kemoterapetika.
Cara penyuntikan antiserum homolog ialah IV atau SC, sedangkan untuk antiserum heterolog SC. Dua minggu kemudian bila tidak timbul penyakit, disusul dengan vaksinasi.
Oleh karena antraks inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi terkena antraks harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi. Untuk kasus antraks inhalasi Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik pilihan. Untuk hewan tersangka sakit dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut :
1. Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan (hewan besar 20-30 ml, hewan kecil 10-1ml)
2. Penyuntikan antibiotika.
3. Penyuntikan kemoterapetika.
4. Penyuntikan antiserum dan antibiotika atau antiserum dan kemoterapetika.
Cara penyuntikan antiserum homolog ialah IV atau SC, sedangkan untuk antiserum heterolog SC. Dua minggu kemudian bila tidak timbul penyakit, disusul dengan vaksinasi.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Antraks adalah penyakit bakterial yang disebabkan
oleh Bacillus anthracis yang menyerang hewan dan manusia (zoonosis). Penyakit
ini umumnya menyerang hewan domestik, seperti domba, kambing dan sapi, tetapi
manusia juga dapat terinfeksi karena terpapar atau mengkonsumsi hewan yang
terinfeksi.
2. Penggunaan vaksin cukup efektif untuk pencegahan
penyakit antraks . Vaksin antraks yang masih digunakan di Indonesia adalah
suspensi spora B. anthracis galur Sterne 34F2, tidak berkapsul dan toksigenik.
3. Antraks dapat masuk ke dalam tubuh manusia
melalui usus, paru-paru (dihirup), atau kulit (melalui luka). Bakteri B.Anthracis termasuk bakteri gram positif
berbentuk basil, dan dapat membentuk spora.
4. Proses masuknya spora antraks dapat dengan tiga
cara, yaitu:
1. Inhaled antraks, dimana spora antraks
terhirup dan masuk ke dalam saluran pernapasan. Tipe pernapasan adalah yang
paling berbahaya karena CFRnya mencapai 100%. Masa inkubasinya 1 – 5 hari.
2. Cutaneous
antraks, dimana spora antraks masuk melalui kulit yang terluka. Proses masuknya
spora ke dalam manusia sebagian besar merupakan cutaneous antraks (95% kasus).
Bisa terjadi jika bakteri atau spora masuk ke dalam jaringan kulit yang luka,
dan menyebabkan lepuh kemudian berubah menjadi bisul bernanah dan akhirnya
menjadikoreng berwarna hitam. Antraks jenis ini biasanya terjadi pada tempat
penjagalan hewan. Masa inkubasi 1 – 5 hari.
3. Gastrointestinal antraks, dimana daging hewan yang dikonsumsi tidak
dimasak dengan baik, sehingga masih mengandung bakteri atau spora trtelan lewat mulut, biasanya terjadi
karena makan daging terinfeksi yang tidak dimasak sampai matang sempurna. Masa
inkubasi 2 – 5 hari.
5. Pencegahan antraks
dapat dilakukan dengan Vaksinasi dan pemeriksaan Laboratorium.
6. Pengendalian antraks
dapat dilakukan dengan investigasi.
7. Pengobatan antraks
dapat dilakukan dengan :
- Penyuntikan antiserum
dengan dosis pencegahan (hewan besar 20-30 ml, hewan kecil 10-1ml)
- Penyuntikan antibiotika.
- Penyuntikan kemoterapetika.
- Penyuntikan antiserum dan antibiotika atau antiserum dan kemoterapetika.
- Penyuntikan antibiotika.
- Penyuntikan kemoterapetika.
- Penyuntikan antiserum dan antibiotika atau antiserum dan kemoterapetika.
B.
Saran
1. Menjaga kebersihan sanitasi lingkungan pada daerah peternakan.
2. Tidak mengkonsumsi daging yang dibeli di tempat-tempat
illegal dan tidak dimasak secara baik.
3. Memberikan vaksin yang rutin pada daerah endemik antraks
dan hewan ternak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar