Rabu, 20 Januari 2016

BAB I - III PENYAKIT ANTRAKS



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Antraks adalah penyakit yang disebabkan Bacillus anthracis. Penyakit ini dapat menyerang hewan domestik maupun liar, terutama hewan herbivora, seperti sapi, domba, kambing, beberapa spesies unggas dan dapat menyerang manusia (zoonosis) (OIE, 2000 ; ToDAR, 2002). Antraks merupakan penyakit zoonosis penting dan strategis sehingga perlu ditangani dengan baik. Tingkat kematian karena antraks sangat tinggi terutama pada hewan herbivora, mengakibatkan kerugian ekonomi dan mengancam keselamatan manusia (WHO, 1998.
Untuk mewaspadai penyakit antraks di Indonesia, perlu dikembangkan cara pengendalian penyakit yang efektif yang perlu didukung dengan metode diagnosis cepat dan akurat sehingga penanganan kasus penyakit dapat dilaksanakan dengan segera. Metode diagnosis yang digunakan di BBalitvet adalah identifikasi agen, uji serologi dan Ascoli, sedangkan teknik lain yang lebih cepat dan akurat dan direkomendasikan oleh OIE/WHO (1998; 2000) antara lain : lysis gamma phage, immunochromatographic assay, Direct Flourescence Assay (DFA) dan Polymerase Chain Reaction (PCR). Penyempurnaan metode diagnosis dirasakan sangat mendesak karena sampai saat ini cara diagnosis yang digunakan di Indonesia pada umumnya masih konvensional. Pencegahan penyakit sangat penting dilakukan di daerah endemik penyakit antraks, seperti Jawa Barat dan D.I. Yogyakarta . Program vaksinasi masih sering mengalami hambatan karena adanya efek samping dari vaksin spora hidup yang saat ini digunakan di Indonesia (HARDJOUTOMO et al., 1993). Pengembangan atau perbaikan dalam pembuatan vaksin antraks perlu dilakukan sehingga dapat diperoleh vaksin yang efektif tetapi aman digunakan dan tidak mempunyai efek samping yang sering dikeluhkan petemak di Indonesia. Investigasi merupakan salah satu langkah dalam cara pengendalian penyakit antraks, khususnya di daerah endemik untuk menekan kejadian penyakit itu berulang kembali. Untuk memprediksi kejadian penyakit, kita harus mengetahui sejarah dan daerahdaerah endemik antraks serta mengetahui kapan saja kasus antraks muncul. Tindakan yang perlu dilakukan adalah dengan cara memonitoring tingkat kejadian dan tingkat cemaran spora di daerah tersebut (WHO et al.,1998).

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui gambaran Epidemiologi Deskriptif penyakit Antraks
2. Untuk mengetahui skema penularan penyakit Antraks
3. Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit Antraks
4. Untuk mengetahui strategi pengendalian penyakit Antraks


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Antraks
Antraks adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh Bacillus anthracis yang menyerang hewan dan manusia (zoonosis). Penyakit ini umumnya menyerang hewan domestik, seperti domba, kambing dan sapi, tetapi manusia juga dapat terinfeksi karena terpapar atau mengkonsumsi hewan yang terinfeksi . Program pengendalian antraks pada hewan dan manusia
meliputi pengembangan metode diagnostik untuk deteksi B. anthracis dan uji konfirmasi penyakit antraks, pencegahan penyakit dengan vaksinasi dan investigasi penyakit . Teknologi diagnosis antraks yang cepat dan lebih akurat harus dikembangkan untuk menggantikan metode konvensional yang sekarang masih digunakan di Indonesia. Penggunaan vaksin cukup efektif untuk pencegahan penyakit antraks . Vaksin antraks yang masih digunakan di Indonesia adalah suspensi spora B. anthracis galur Sterne 34F2, tidak berkapsul dan toksigenik. Penggunaan vaksin ini terkadang menimbulkan rasa sakit dan nekrosis di tempat suntikan, oedema subkutan dan kematian hewan pascavaksinasi . Beberapa vaksin telah dikembangkan, antara lain vaksin subunit, anthrax vaccine absorbed (AVA), yang mengandung komponen antigen protektif (PA) yang merupakan komponen utama toksin antraks yang bersifat imunogenik dan sering digunakan sebagai vaksin pada manusia . Di daerah endemik antraks, hampir setiap tahun masih terjadi letupan wabah penyakit ini.



Ø  Distribusi penyakit Antraks
Sumber infeksi yang utama adalah setiap bahan yang berasal dari hewan yang mati karena antraks. Penyebaran spora antraks dapat melalui berbagai macam cara baik secara biologic maupun mechanic, antara lain melalui hewan pemakan bangkai tercemar dan air mengalir yang tercemar. Antraks bisa ditularkan kepada manusia diakibatkan pengeksposan kepada hewan yang sakit atau hasil ternakan seperti kulit dan daging, atau memakan daging hewan yang tertular antraks. Selain itu, penularan juga dapat terjadi bilaseseorang menghirup spora dari produk hewan yang sakit misalnya kulit atau bulu yang dikeringkan.
Antraks dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui usus, paru-paru (dihirup), atau kulit (melalui luka). Bakteri B.Anthracis termasuk bakteri gram positif berbentuk basil, dan dapat membentuk spora. Proses masuknya spora antraks dapat dengan tiga cara, yaitu:
1.  Inhaled antraks, dimana spora antraks terhirup dan masuk ke dalam saluran pernapasan. Tipe pernapasan adalah yang paling berbahaya karena CFRnya mencapai 100%. Masa inkubasinya 1 – 5 hari.
2.    Cutaneous antraks, dimana spora antraks masuk melalui kulit yang terluka. Proses masuknya spora ke dalam manusia sebagian besar merupakan cutaneous antraks (95% kasus). Bisa terjadi jika bakteri atau spora masuk ke dalam jaringan kulit yang luka, dan menyebabkan lepuh kemudian berubah menjadi bisul bernanah dan akhirnya menjadikoreng berwarna hitam. Antraks jenis ini biasanya terjadi pada tempat penjagalan hewan. Masa inkubasi 1 – 5 hari.
3.    Gastrointestinal antraks, dimana daging hewan yang dikonsumsi tidak dimasak dengan baik, sehingga masih mengandung bakteri atau  spora trtelan lewat mulut, biasanya terjadi karena makan daging terinfeksi yang tidak dimasak sampai matang sempurna. Masa inkubasi 2 – 5 hari.

B. Tinjauan Umum Faktor Risiko Antraks
1.Kontak dengan hewan yang mati karena antraks.
2.Mencuci atau mandi disungai atau danau yang terkontaminasi bakteri Bacillus Anthracis.
3.Tukang jagal.
4.Pekerja potong hewan, tukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
5.Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani ternak atau hewan, menyentuh hewan mati karena antraks.
6.Pekerja pabrik yang menangani produk-produk hewan yang terkontaminasi oleh spora antraks,  misalnya pupuk.
7. Orang yang bekerja di laboratorium.



BAB III
PEMBAHASAN

A. Gambaran Epidemiologi Deskriptif Antraks
1. Berdasarkan Orang
a. Personal Hygiene
Widoyono (2008) menyebutkan bahwa bagian penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular adalah memutuskan mata rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan kontak dengan agent penyakit dengan penjamu. Faktor pencegahan penularan menitikberatkan pada penanggulangan risiko penyakit seperti lingkungan dan perilaku.
b.  Usia
Antraks diketahui dapat mejangkiti hampir segala umur karena kebiasaan masyarakat yang mengkonsumsi daging sebagai kebutuhan pangan mereka. Selain itu juga dimana usia pekerja yang bekerja sebagai penjagal daging atau sebagai peternak hewan tersebut.
c. Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama mengalami antraks, akan tetapi laki-laki yang memiliki risiko lebih besar karena laki-laki memiliki daerah kerja yang lebih besar terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi.

2. Berdasarkan Waktu
-Musim kemarau, karena ternak harus mencari makanannya sendiri walaupun telah  tercemar.
-Curah hujan yang tinggi di mana rumput sedang tumbuh.

3. Berdasarkan Tempat
a. Lingkungan fisik seperti keberadaan peternakan yang ada di lingkungan sekitar rumah, keberadaan parit atau sungai yang berdekatan dengan peternakan kemungkinan besar dapat terkontaminasi.
b. Lingkungan biologic, sebagai hospes perantara (lalat).
c. Lingkungan sosial
-   Lama pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam penularan penyakit khususnya antraks . Pendidikan masyarakat yang rendah akan membawa ketidaksadaran terhadap berbagai risiko paparan penyakit yang ada di sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan masyarakat, akan membawa dampak yang cukup signifikan dalam proses pemotongan jalur transmisi penyakit antraks.


B. Skema Penularan Antraks
http://ilmuveteriner.com/wp-content/uploads/2015/04/Penularan-anthrax.png
Anthrax tidak menyebar langsung dari salah satu hewan terinfeksi ke hewan lain tetapi dapat masuk ke dalam tubuh karena spora anthrax tertelan pada saat digembalakan atau merumput serta dapat juga melalui air ataupun alat-alat kandang yang mengandung spora anthrax. Selain itu, hewan juga dapat terinfeksi anthrax melalui pernafasan dengan menghirup spora anthrax saat merumput. Spora akan mengalami germinasi dan menghasilkan bentuk vegetatif di dalam tubuh hewan yang terinfeksi, kemudian memperbanyak diri serta dapat mengakibatkan kematian. Bentuk vegetatif dalam proporsi tertentu dikeluarkan pada saat hewan menjelang kematian atau hewan yang sudah mati (bangkai) dan menyebar ke lingkungan sekitarnya. Spora kemudian menunggu untuk ditelan oleh hewan lainnya dan hal ini bisa berlangsung kapan saja, mulai dari waktu kurang satu jam sampai beberapa dekade kemudian. Spora yang ada di dalam tanah dapat naik ke permukaan karena pengolahan tanah dan selanjutnya spora tersebut berada di rumput yang kemudian termakan oleh hewan (ternak)
Menurut daerah penularannya, anthrax dibagi dalam dua bentuk diantaranya :
1. Anthrax daerah pertanian (agriculture anthrax) yaitu anthrax yang penularan dan kejadiannya berkisar di daerah-daerah pertanian saja. Anthrax di Indonesia pada umumnya termasuk anthrax daerah pertanian.
2. Anthrax daerah perindustrian (industrial anthrax) yaitu anthrax yang terjadi di daerah atau kawasan industri yang menggunakan bahan baku berasal dari hewan atau hasil hewan seperti bahan-bahan yang terbuat dari kulit (tas, ikat pinggang, topi, alat musik), tulang (perhiasan, industri makanan ternak), daging (dendeng, abon), darah (campuran makanan ternak), tanduk (perhiasan, kerajinan) dan lain-lain.

C. Gejala Antraks    
Gejala Penyakit Anthrax Pada Manusia :      
Gejala yang terjadi saat menderita penyakit anthrax tergantung kepada jenis penyakit anthrax yang dideritanya. 
1.Cutaneous anthrax. Gejalanya berupa benjolan yang awalnya kecil dan kemudian membesar. Benjolan ini bisa sangat gatal. Masa inkubasinya (masa yang dibutuhkan dari sejak masuk hingga menjadi penyakit) adalah sekitar 5 -7 hari. Lalu, benjolan menjadi terisi cairan dengan diameter 1-3 cm. Lama-kelamaan, benjolan berair ini akan membentuk luka seperti lecet dengan bagian pinggiran yang kemerah-merahan. Di hari ke-7 hingga ke-10 terjadi pembengkakan kelenjar getah bening; sakit kepala; dan demam.      
2. Inhalational anthrax. Gejalanya pertama muncul di hri ke-1 sampai hari ke-7. Akan tetapi menghilang setelah 60 hari. Gejala yang terjadi pada inhalational anthrax biasa adalah berupa flu, sakit tenggorokan, demam, dan sakit otot. Adapun untuk inhalational anthrax yang tidak biasa (membahayakan), gejala bisa ditambah dengan sesak napas dan demam tinggi. Kematian bisa terjadi dalam 24-36 jam setelah gejala berkembang.  
3. Gastrointestinal anthrax. Gejala terjadi di hari ke-1 sampai ke-6 yang berupa kerusakan/borok lambung; borok lidah dan tonsil; sakit tenggorokan; hilang selera makan; muntah-muntah; dan demam. Gejala ini bisa ditambah dengan sakit bagian perut; muntah darah; dan berak darah. Dalam 2 hingga 4 hari; cairan akan mengisi rongga perut. Kematian akan terjadi di hari ke-2 sampai hari ke-5. 
4. Oropharyngeal anthrax. Gejala yang terjadi berupa demam; pembengkakan kelenjar getah bening di leher; sakit tenggorokan yang berat; susah menelan; serta sakit lambung dan lidah

Gejala Penyakit Anthrak Pada Hewan :        
1. Perakut (sangat cepat) terjadi sangat mendadak dan segera mengikuti kematian, sesak napas, gemetar, kemudian hewan rebah kadang terdapat gejala kejang. Pada sapi kambing dan domba mungkin terjadi kematian yang mendadak tanpa menimbulkan gejala penyakit terlebih dahulu.
2. Bersifat akut (cepat) pada sapi, kambing, domba dan kuda : demam (suhu tubuh mencapai 41,50C), gelisa, sesak napas, kejang, dan diikuti kematian, kadang sesaat sebelum kematian kelaur darah kehitaman yang tidak membeku dari lubang kumlo (lubang hidung, mulut, telinga, anus dan alat kelamin). Pada kuda dapat terjadi nyeri perut (kolik) diare berdarah, bengkak daerah leher dada, perut bagian bawah dan alat kelamin bagian luar.


D. Pencegahan Antraks
1. VAKSINASI
Pencegahan dan pengendalian antraks di daerahendemik dilakukan dengan cara vaksinasi. Vaksin antraks yang digunakan di Indonesia sampai saat ini adalah vaksin aktif. Daya proteksi vaksin antraks pada ternak ditentukan oleh respon imun terhadap protective antigen (PA), sedangkan 2 komponen toksin lainnya yaitu LF dan EF hanya berperan kecil dalam memberikan proteksi. Antigen lainnya (kapsul dan dinding sel) belum diidentifikasi berperan dalam proteksi (WHO, 1998). Vaksin antraks masa mendatang harus dapat menstimulasi imun respon seluler dan imun respon humoral (WHO, 1998). Vaksinasi pada ternak di Indonesia pada umumnya masih menggunakan vaksin spora hidup atau live spora vaccine, yang mengandung B. anthracis galur 34F2, bersifat toksigenik, dan tidak berkapsul. Vaksin ini mengandung kira-kira 10 juta spora per mili liter yang disuspensikan dalam larutan 50% gliserin- NaCI fisiologis mengandung 0,5% saponin .
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan atau pengujian spesimen di laboratorium adalah untuk meneguhkan diagnosa yang dibuat berdasarkan gejala klinis. Pengujian yang dilakukan pada dasarnya merupakan deteksi agen penyakit dan deteksi antibodi.Pengiriman spesimen dari suatu tempat ke laboratorium pemeriksaan juga perlu diperhatikan karena dapat mempunyai resiko penyebaran agen penyakit.


E. Strategi Pengendalian Antraks
INVESTIGASI
Investigasi merupakan salah satu langkah dalam cara pengendalian antraks, khususnya di daerah
endemik untuk menekan kejadian penyakit itu berulang kembali. Untuk memprediksi kejadian penyakit, harus diketahui sejarah dan daerah-daerah endemik antraks serta diketahui kapan saja kasus antraks pernah muncul. Tindakan yang perlu dilakukan dalam investigasi adalah melakukan monitoring tingkat kekebalan ternak hasil vaksinasi, tingkat kejadian dan tingkat cemaran spora pada tanah dan pakan di daerah tersebut (OIE, 2000) . Kejadian antraks seringkali dipengaruhi musim, iklim, suhu dan curah hujan yang tinggi (WHO, 1998). Kasus antraks seringkali muncul pada awal musim hujan di mana rumput sedang tumbuh, hal ini yang menyebabkan terjadinya kontak dengan spora yang ada di tanah . Belum pernah ada laporan bahwa antraks dapat menular dari hewan ke hewan atau dari manusia ke manusia (WHO, 1998). Spora akan terbentuk jika terekspos oksigen (02), spora ini relatif tahan terhadap panas, dingin, pH. Penyakit ini tetap enzootic di hampir semua negara Afrika dan Asia, beberapa negara di Eropa (Inggris, Jerman dan Italia), beberapa negara bagian Amerika Serikat (South Dakota, Nebraska, Louisiana, Arkansas, Texas, Misissipi dan California) dan beberapa daerah di Australia (Victoria dan New South Wales) (WHO, 1998 ; TODAR, 2002). Sampai saat ini, masih banyak daerah endemik antraks di Indonesia seperti di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, D .I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, NTB dan Papua. Di Jawa Barat (Kabupaten Bogor), Nusa Tenggara Barat (Bima dan Sumbawa Besar) dan Nusa Tenggara Timur hampir setiap tahun dilaporkan adanya
kejadian antraks (SIREGAR, 2002; DEPARTEMEN KESEHATAN, 2003) . Pada akhir tahun 2004 antraks kembali menyerang kambing di daerah Citaringgul Babakan Madang Kabupaten Bogor dan menyebabkan 6 orang meninggal dunia (laporan kasus) .



F. Cara Pengobatan Antraks
Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik topikal tidak dianjurkan pada antraks kulit. Antraks kulit dengan gejala sistemik, edema luas, atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotic intravena. Walaupun sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis antraks inhalasi, gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. B. anthracis alami resisten terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis seperti sefalosporin dengan spektrum yang diperluas tetapi hampir sebagian besar kuman sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, sefazolin, klindamisin, rifampisin, imipenem, aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin, linezolid, dan makrolid. Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasikilin, atau siprofloksasin dapat diberikan. Pada antraks kulit dan intestinal yang bukan karena bioterorisme, maka pemberian antibiotik harus tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda.
Oleh karena antraks inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi terkena antraks harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi. Untuk kasus antraks inhalasi Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik pilihan. Untuk hewan tersangka sakit dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut :
1. Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan (hewan besar 20-30 ml, hewan kecil 10-1ml)
2. Penyuntikan antibiotika.    
3. Penyuntikan kemoterapetika.         
4. Penyuntikan antiserum dan antibiotika atau antiserum dan kemoterapetika.        
Cara penyuntikan antiserum homolog ialah IV atau SC, sedangkan untuk antiserum heterolog SC. Dua minggu kemudian bila tidak timbul penyakit, disusul dengan vaksinasi.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Antraks adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh Bacillus anthracis yang menyerang hewan dan manusia (zoonosis). Penyakit ini umumnya menyerang hewan domestik, seperti domba, kambing dan sapi, tetapi manusia juga dapat terinfeksi karena terpapar atau mengkonsumsi hewan yang terinfeksi.

2. Penggunaan vaksin cukup efektif untuk pencegahan penyakit antraks . Vaksin antraks yang masih digunakan di Indonesia adalah suspensi spora B. anthracis galur Sterne 34F2, tidak berkapsul dan toksigenik.

3. Antraks dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui usus, paru-paru (dihirup), atau kulit (melalui luka). Bakteri B.Anthracis termasuk bakteri gram positif berbentuk basil, dan dapat membentuk spora.

4. Proses masuknya spora antraks dapat dengan tiga cara, yaitu:
1.  Inhaled antraks, dimana spora antraks terhirup dan masuk ke dalam saluran pernapasan. Tipe pernapasan adalah yang paling berbahaya karena CFRnya mencapai 100%. Masa inkubasinya 1 – 5 hari.
2.    Cutaneous antraks, dimana spora antraks masuk melalui kulit yang terluka. Proses masuknya spora ke dalam manusia sebagian besar merupakan cutaneous antraks (95% kasus). Bisa terjadi jika bakteri atau spora masuk ke dalam jaringan kulit yang luka, dan menyebabkan lepuh kemudian berubah menjadi bisul bernanah dan akhirnya menjadikoreng berwarna hitam. Antraks jenis ini biasanya terjadi pada tempat penjagalan hewan. Masa inkubasi 1 – 5 hari.
3.    Gastrointestinal antraks, dimana daging hewan yang dikonsumsi tidak dimasak dengan baik, sehingga masih mengandung bakteri atau  spora trtelan lewat mulut, biasanya terjadi karena makan daging terinfeksi yang tidak dimasak sampai matang sempurna. Masa inkubasi 2 – 5 hari.

5. Pencegahan antraks dapat dilakukan dengan Vaksinasi dan pemeriksaan Laboratorium.

6. Pengendalian antraks dapat dilakukan dengan investigasi.

7. Pengobatan antraks dapat dilakukan dengan :
- Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan (hewan besar 20-30 ml, hewan kecil 10-1ml)
- Penyuntikan antibiotika.      
- Penyuntikan kemoterapetika.          
- Penyuntikan antiserum dan antibiotika atau antiserum dan kemoterapetika.          


B. Saran
1. Menjaga kebersihan sanitasi lingkungan pada daerah peternakan.
2. Tidak mengkonsumsi daging yang dibeli di tempat-tempat illegal dan tidak dimasak  secara baik.
3. Memberikan vaksin yang rutin pada daerah endemik antraks dan hewan ternak.